Setelah polemik usulan Pemilu 2024 minta dimundurkan oleh Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Kini Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim bahwa big data 110 juta netizen ingin Pemilu 2024 benar adanya.
Sebelumnya, Luhut mengaku, usulan penundaan Pemilu 2024 tidak hanya disuarakan elite PAN dan PKB. Tetapi juga datang dari pendukung Partai Demokrat, Partai Gerindra serta PDI Perjuangan dan Golkar.
Klaim Luhut itu dilontarkan saat berbicara di Podcast Deddy Corbuzier yang diunggah di kanal Youtube, Jumat, (11/3/2022).
Selain itu, Luhut juga mengungkapkan penundaan Pemilu 2024 berdasarkan big data berupa percakapan dari 110 juta orang di media sosial
“Itu yang rakyat ngomong. Ini kan ceruk ini atau orang-orang ini ada di Partai Demokrat, ada di Partai Gerindra, ada yang di PDIP, ada yang di PKB, ada yang di Golkar,” ujar Luhut.
Sebelumnya, tiga ketua umum partai kompak menyatakan dan mengusulkan menunda Pemilu 2024 sampai dua tahun karena Pandemi Covid-19. Ketiga Ketum Partai tersebut diantaranya Muhaimin Iskandar Ketum Partai Kebangkitan Bangsa, Ketum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan dan Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto.
Mereka sepakat mengusulkan agar Pemilu 2024 ditunda hingga dua tahun. Namun belakang terkuak dalang sebenarnya yang meminta penundaan tersebut adalah diduga Luhut Binsar Panjaitan.
Sementara itu, Ketua Bidang Politik dari Keluarga Besar Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI/Polri (FKPPI) Arif Bawono merespon, polemik masa jabatan Presiden dan penundaan Pemilu 2024 merupakan saat yang tepat untuk menghidupkan kembali referendum. Pria yang akrab disapa Boy ini menyebut, Indonesia pernah memiliki UU Nomor 5 tahun 1985 tentang Referendum, namun dicabut melalui UU Nmor 6 tahun 1999.
“Semangat reformasi yang diperjuangkan mahasiswa saat itu, telah dibajak pada pekan pertama oleh orangtua di Parlemen Senayan dengan menghapus UU Referendum. Saat ini, sebagian mereka malah berteriak amandemen UUD 1945, sehingga terlalu liberal,” kata Boy pada Rabu (16/3/2022).
Boy mengatakan, hal-hal yang berkaitan dengan kedaulatan dan konstitusi hanya bisa diputuskan oleh rakyat selaku pemilik sah republik ini. Sementara pemerintah dan Parlemen hanyalah penyelenggara negara.
“Jangan sampai ini keterusan, apalagi kita semua paham bagaimana oligarki bekerja di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Jika, semua hal termasuk kedaulatan kita percayakan pada mereka, negara dan bangsa ini akan semakin tergadai,” ujarnya.
“Solusi paling memungkinkan adalah mengembalikan kedaulatan kepada rakyat sebagai pemilik sah republik ini, maka tanyakan langsung ke rakyat maunya bagaimana? hidupkan kembali beleid referendum,” lanjutnya.
Meski usulan penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden saat ini masih tertutup karena terhalang konstitusi, namun amandemen UUD 1945 untuk memuluskan niat penguasa bukan hal yang mustahil.
Perubahan itu telah diatur dalam Pasal 37 UUD 1945. Pasal tersebut menjelaskan, UUD dapat diubah jika sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dihadiri minimal 2/3 dari jumlah anggota MPR dan perubahan pasal dapat disampaikan dalam sidang MPR.
Kemudian setiap usulan perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan dan usulan perubahan ini wajib disertai dengan alasan.
“Perubahan dapat dilakukan terhadap pasal-pasal yang UUD 1945, kecuali pasal yang mengatur tentang bentuk negara,” imbuhnya.
Jadi, kata dia, secara teknis mengubah UUD 1945 melalui proses amandemen bisa saja dilakukan untuk menindaklanjuti wacana penundaan Pemilu, perpanjangan masa jabatan presiden dan penambahan periodesasi masa jabatan presiden.
Namun, jika melihat dampak dari usulan penundaan Pemilu berkaitan langsung dengan ketentuan-ketentuan masa jabatan anggota DPR, DPRD, DPD, Presiden dan Wakil Presiden.
“Setelah lima tahun sejak dilantik, masa jabatan penyelenggara negara tersebut berakhir dengan sendirinya. Penundaan Pemilu, artinya mereka akan memperpanjang masa jabatan mereka sendiri. Ini berarti, akan ada konflik kepentingan dalam pengajuan usul amandemen, karena hasil amandemen itu bisa dipastikan akan menguntungkan para pengusul dan pembahas,” jelasnya.
Sementara itu jika dipaksakan untuk melakukan amandemen, dapat dipastikan akan membawa dua dampak langsung. Pertama, secara hukum produk UU yang rawan konflik kepentingan ini bisa dimasukan dalam delik korupsi dan setidaknya merupakaan persekongkolan jahat.
“Kedua, amandemen tidak akan memiliki dasar legitimasi yang cukup. Apakah konstitusi yang tidak legitimate akan mampu bertahan lama,” imbuhnya.
Jika amandemen tetap dipaksakan dan dilaksanakan, lanjut dia, para penyelenggara negara itu semuanya mungkin sah tapi tidak terlegitimasi. Karena itu, risiko terbesarnya adanya pembangkangan rakyat untuk mematuhi kebijakan mereka.
“Rakyat akan jalan sendiri-sendiri menurut maunya sendiri. Mereka memiliki alasan membangkang kepada Presiden, Wakil Presiden, para Menteri, DPD, DPR dan DPRD. Mereka menolak keputusan apapun yang dibuat karena keputusan itu tidak sah dan bahkan ilegal,” katanya.
Seperti diketahui, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI Bahlil Lahadalia menyebut, para pengusaha meminta adanya penundaan Pemilu 2024 mendatang. Alasannya, situasi perekonomian negara sedang sulit karena dihantam pagebluk Covid-19.
Usulan Bahlil lantas disambut tiga Ketua Umum Partai Politik yakni dari PKB Muhaimin Iskandar, Partai Golkar Airlangga Hartarto dan PAN Zulkifli Hasan.
Usulan ini lantas mendapat reaksi dari Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto yang menyatakan, partainya tak menginginkan perubahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode maupun perpanjangan masa jabatan presiden.